Archive

Author Archive

Pidato SBY Soal Kesiapan FTA Indonesia Mengecewakan

November 18, 2009 Leave a comment

Dalam forum KTT APEC di Singapura beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan  kesiapan Indonesia dalam program Free Trade Area (FTA). Pernyataan tersebut dinilai tidak tepat karena Indonesia belum pantas untuk ikut dalam kesepatan FTA, selama jalur ekonomi di negeri ini belum terintegrasi.

“Saya tidak ada masalah, dengan free trade. Yang saya kecewakan adalah pidato Presiden di Singapura yang mengaku siap dengan free trade, padahal ekonomi kita belum terintegrasi,” kata pengamat ekonomi Faisal Basri dalam diskusi Economic Outlook 2010 di hotel Ritz Calton SCBD, Jakarta Selasa (17/11/2009) malam.

FTA, menurut Faisal, sangat bermanfaat bagi suatu negara karena terjadi proses integrasi jalur ekonomi di negara-negara kawasan. Namun infrastruktur Indonesia yang buruk, menyebabakan pengitagrasian ekonomi dalam negeripun belum tercapai.

“Ekonomi kita justru sudah terintegrasi dengan China, Shanghai, ataupun California. Sedangkan untuk Jakarta ke Berastagi ataupun ke Gorontalo sama sekali belum,” jelas Faisal.

Faisal mencontohkan, beras yang diangkut dari Berastagi susut 10%, karena perjalanannya menuju Jakarta. Harga jeruk China dinilai lebih murah ketimbang jeruk lokal. Harga pasar untuk jeruk China Rp 6 ribu, sedangkan jeruk lokal mencapai Rp 12 ribu, padahal buah sama-sama diperdagangkan di Jakarta.

“Kondisi tersebutkan tidak masuk akal. Secara jarak, tentu berbeda. Harusnya jeruk lokal jauh lebih murah, jeruk Berastagi harga pokoknya hanya Rp 3 ribu, masak dijual lebih tinggi dari jeruk China,” jelasnya.

Ditambahkan Faisal, integrasi ekonomi dengan daerah di luar pulau juga belum terjadi. Waktu angkut dari California menuju pulau Jawa lebih cepat, dibandingkan yang berasal dari Gorontalo.

“Ini kan ngga masuk akal. Mau free trade gimana, kalau kondisinya seperti ini,” tanya Faisal.

Solusi yang paling memungkinkan adalah, dengan memperbaiki sistem transportasi laut. Dengan mendirikan pelabuhan yang berkualitas, adalah cara yang efektif untuk mengitegrasikan ekonomi dalam negeri.

“Perbaiki sistem transportasi laut. Efektifkan jalur angkut yang ada di pelabuhan saat ini. Selama ini terlalu banyak otoritas di sana, hingga terjadi ekonomi biaya tinggi,” terang Faisal.

Sumber: detikfinance

Categories: Uncategorized Tags: , ,

Pengembangan Klaster IKM/UKM di Indonesisa: Pengalaman dan Prospek

November 16, 2009 5 comments

Oleh: Dr. Noer Soetrisno

(disampaikan dalam international conference & workshop on cluster development, solo – 27-28 nov 09)

 

PENDAHULUAN

   Klaster (Cluster) adalah merupakan pengertian yang lazim digunakan dalamIlmu Ekonomi Regional untuk mendefinisikan pengelompokan industri sejenis dalam suatu kawasan dan ketika kegiatan industri itu bermacam-macam maka disebut aglomerasi (Richardson, 1971).   Dalam perkembanganya ketika klaster menghasilkan praktek terbaik pengembangan industri di dunia, seperti yang terjadi pada klaster tertua industri galangan kapal di Norwegia, maka klaster juga diterima sebagai pengertian pendekatan pengembangan industri (UNCTAD, 2001). Mengutip pendapat Kimura (Hoa and Harvie, 2003):  Although we can not say that the micro-foundation of spactial agglomeration has been fully formulated, the importance as a source of location advantage is increasingly recognized both empirical and theoretical literature, menunjukkan bahwa fondasi teori dan praktek aglomerasi dalam pembangunan industri semakin kokoh.  Klaster juga lazim digunakan untuk membagi wilayah atau area dalam kawasan industri atau bahkan dalam suatu komplek industri.

  Dalam memahami penggunaan pendekatan klaster dalam pembangunan UKM di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan pengalaman pembangunan industri kecil di tanah air dan keberimpitan atau adopsi dengan program pembangunan UKM di Indonesia. Sebagai negara agraris tidak dapat disangkal lagi industri di tanah air tumbuh dari industri agro yang diperkuat oleh industri tekstil dan transport (perawatan). Perkembangan industri di tanah air memang tidak semuanya tumbuh sesuai dengan arah pertumbuhan industri pengolahan yang besar dan sejajar dengan kemajuan zaman. Tetapi kehadiran industri kerajinan rumah tangga, yang lazim disebut cottage industry, yang tumbuh dengan pesat untuk memenuhi kebutuhan sektor tradisional, pertanian dan sektor ekonomi rakyat lainya.  Kemudian juga tumbuh menjadi penunjang kebutuhan industri sedang dan besar. Keadaan inilah yang kemudian menjadi alas an dasar untuk melahirkan pendekatan jalur khusus yang pada zaman itu tumbuh dari asistensi/bantuan teknis sampai kepada pembinaan.

     Pembinaan industri kecil pada awalnya ditempatkan dalam kerangka industri kerajinan (INKRA) yang mengalami perkembangan tersendiri. Batu sejarah pengembangan industri kecil dan UKM memang mengalami kerancuan sejak lahirnya UU 9/1995 tentang Usaha Kecil yang cakupannya menyeluruh (pertanian, industri dan jasa) tetapi instrument dan pembagianya membingungkan (Noer Soetrisno, ISEI, 1996). Perubahan sikap Presiden Soeharto tentang pengusaha kecil ini tidak terlepas dari pengaruh pertemuan APEC yang telah sejak lama dipersiapkan dan pada tahun 1994 diselenggarakan di Bogor yang secara khusus mengedepankan agenda UKM (SME). Untuk itu review pembangunan industri kecil perlu dilihat kembali. Kemudian pengaruh krisis ekonomi dan pendekatan pembangunan UKM serta dampak dan implikasi reformasi politik di tanah tidak dapat dipisahkan dari kehadiran pendekatan klaster pengembangan UKM di tanah air. Selanjutnya perkembangan paska GBHN/PROPENAS menampilkan pengalaman tersendiri perjalanan pembangunan UKM di tanah air, terutama 2004-2009 dan kedudukan pendekatan klaster dalam kazanah pembangunan industri dan pembangunan ekonomi di tanah air.

    Dengan gambaran itu makalah ini ingin menyajikan benang merah pendekatan dan program  pembangunan klaster dalam memajukan UKM di tanah air. Dari sini kita akan mampu mencatat kekuatan pendekatan klaster untuk membuat proyeksi ke depan akan peranya dalam memajukan UKM di tanah air. Hal ini termasuk dalam kontek otonomi daerah. Dengan demikian prospek ke depan dapat ditemu kenali.

PENDEKATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI KECIL DARI MASA KE MASA

          Sejak abad pertengahan, tepatnya sampai sebelum 1900, Indonesia telah mengenal industri yang ditopang oleh industrikecil (Siahaan, 2000), dan kemudian sejak itu mulai muncul gagasan pembangunan industri kecil yang pada dasarnya kemudian menjadi strategi swasembada menjelang kedatangan Jepang dan kemudian dijadikan politik swadesi. Pada masa orde lama industri kecil menjadi focus pembangunan nasional berencana, namun pola pembinaan industri kecil belum dilihat secara khusus. Pada masa ini tercatat satu-satunyta industri kerajinan rakyat yang dikembangkan dengan pola khusus melalui koperasi yaitu industri kerajinan batik. Dalam prakteknya industri batik juga berkelompok dalam wilayah kabupaten/kota tertentu dan bahkan kampong tertentu. Salah satu bukti yang kuat adalah jumlah Primer Koperasi Batik hanya beberapa dandikota tertentu, terutama di Jawa. Karena aglomerasi industri adalah fenomena pertumbuhan industri untuk tujuan efisiensi dalam mencari industri pendukung (input dan transport) dan outlet untuk pemasarannya.

    Pada masa orde baru industri menjadi bagian penting dalam strategi pembangunan dengan arah jangka panjang yang jelas yaitu strategi industrialisasi menuju lepas landas (1969-1997)dan industri kecil mendapatkan tempat tersendiri, namun cenderung ke arah industri rumah tangga, karena selamorde baru banyak industri kecil seperti tekstil, minuman, tembakau, dan mesin/peralatan banyak yang tutupkarena terdesak industri besar PMA. Inilah yang menyadarkan kembali perlunya industri kecil yang bukan hanya cottage industry, terutama pasca kerusuhan Malari, 1974. Sehingga pada tahun 1978 dibentuk dua Kementerian Baru yakni Menteri Muda Urusan Koperasi dan Menteri Muda Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Menteri Muda Koperasi selain bertugas membidangi pembangunan koperasi juga bertanggung jawab atas pembangunan Pengusaha Golongan Ekonomi Lemah (PEGEL). Sementara Menteri Muda UPPDN bertanggung jawab menjamin keikut sertaan PEGEL dalam pengadaan produksi PEGEL dan produksi dalam negeri lainnya oleh industri.

     Pada masa cabinet berikutnya (sejak 1984) lahirlah berbagai program Pengembangan Industri Kecil dan Lingkungan Industri Kecil. Sementara di sektor pertanian Koperasi Unit Desa dibentuk atas dasar pola Wilayah Unit Desa pada tahun 1974.  Ke duanya adalah merupakan pendekatan aglomerasi atas dasar kewilayahan yang menggambarkan tujuan tujuan peningkatan efisiensi fisik, penggadaan, angkutan dan kesatuan investasi alat pengolahan. Inilah elemen dasar tumbuhnya aglomerasi industri  mendukungnya. Skema perkreditan untuk mendukung industri kecilpun juga dirancang melalui Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP).

     Pada masa ini bahkan industri, tenaga kerja dan kelembagaan menyatu padu seperti digambarkan oleh adanya Trio SUBUH (Sudomo, Bustanil dan Hartarto) sebagai simbul industri, tenaga kerja dan kelembagaan (koperasi) dengan pengecualian Koperasi Industri dan Kerajinan Rakyat yang tidak harus tunduk pada pola KUD, yang berkembang secara serasi hingga akhir PJP I Pelita V (1993). Pada saat ini terasa perhatian kepada pengembangan usaha non pertanian mendapat perhatian besar, termasuk mulai dipikirkanya pengembangan sumberdaya manusia dan jalur transisi pengenalan sumber permodalan bagi yang belum dapat mengikuti jalur perbankan.   

     Sejak 1993 memang mengawali sejarah baru, karena pengusaha kecil dan menengah menempati perhatian tersendiri, namun tetap didekatkan dengan pembinaan koperasi sebagai lembaga ideal dalam pembinaanya. Pada masa ini sentra-sentra industri kecil tumbuhdan dikembangkan berdasarkan atas kelompok industri dan komoditas. Pola pengembangan keterkaitan BUMN dan industri kecil atau usaha kecil diperkenalkan melalui pola bapak angkat yang diperkenalkan secara luas, meskipun tidak selalu menghasilkan keterkaitan industri. Pada saat ini pengembangan permodalan usaha kecil dan koperasi di luar Anggaran Pemerintah dan Kredit Perbankan melalui penyisihan laba BUMN dilahirkan dalam program PUKK-BUMN. Sebagai masa persiapan forum APEC, maka pengaruh internasional dalam industri dan perdagangan tidak dapat dihindarkan. UKM sebagai bagian dari perhatian khusus bagi ekonomi berkembang mendapat tempat yang baik, apalagi pada tahun 1994 Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan APEC yang melahirkan cetak biru liberalisasi perdagangan APEC yang terkenal dengan Deklarasi Bogor.

      Tidak aneh kemudian lahirnya UU 9/1995 tentang usaha kecil menjadi mudah. Lahirnya UU 9/1995 ini menandai pergeseran pandangan tentang pengorganisasian dan pembinaan industri kerajinan dan rumah tangga serta usaha jasa di luar pertanian dari pola lama menyatu dengan pengembangan koperasi menjadi terbuka dengan visi khusus penciptaan lapangan kerja, nilai tambah dan ekspor. Tetapi dalam sektor industri menimbulkan kerancuan baru dan tumpang tindih pembinaan, sehingga yang berkembang persaingan malu-malu. Dengan pola lama masalah kelembagaan tidak sulit karena ada jalur koperasi (pola lama) dan pengecualian dengan jalur baru (koperasi khusus), tetapi masalah pembinaan teknis tidak rancu, paling tidak ketika itu memastikan apakah IK=UK menimbulkan perdebatan seru.

   Akhir masa ini memang tidak menghasilkan masa yang menyenangkan, karena krisis moneter Asia akhir 1997 menyeret Indonesia ke dalam krisis multidimensi mulai 1998 dan melahirkan reformasi yang menjanjikan perubahan dan perbaikan di segala bidang. Meskipun janji dan harapan tersebut masih sulitdi nilai hasilnya, tetapi krisis melahirkan kesadaran baru atas keuletan ekonomi berbasis sumber daya manusia (ekonomi rakyat) dan kerapuhan ekonomi berbasis capital semu (ezard capitalism) yang diperoleh melalui kolusi  yang melahirkan konglomerasi dalam kapitalisme semu. Pemerintahan transisi Presiden BJ Habibie paling tidak melahirkan tiga perubahan yang sampai sekarang menjadi bola es perubahan yang tidak bisa dihentikan. Ketiga perubahan itu yakni demokratisasi dan kebebasan pers yang diikuti Pemilu multipartai secara langsung yang melahirkan perubahan rekruitmen kepemimpinan; pemisahan Bank Indonesia dan perbankan dari pengaruh Pemerintah; dan kebijaksanaan desentralisasi melalui Pelaksanaan Otonomi Daerah yang demikian lama tersumbat.

     Ketiga perubahan ini merubah pendekatan pengembangan usaha, baik pembangunan industri maupun koperasi dan usaha kecil menengah yang perlu disikapi dengan cara baru yang lebih responsive dan antisipatif terhadap perubahan berikutnya yang lahir dari tuntutan perubahan sebelumnya. Perubahan ini paling tidak menyangkut politik anggaran, politik perkreditan dan investasi yang berimplikasi pada perubahan pola pembinaan yang kompatibel dengan perubahan. Di sinilah perlunya paradigm shift.

 

PENGEMBANGAN KLASTER BISNIS UKM: KEUNTUNGAN DAN PENDEKATAN

  Reformasi Pemerintahan melahirkan perubahan terus menerus dengan dinamika yang bersifat permanen dan sesaat. Meskipun pada saat krisis memuncak pada tahun 1998 ekonomi rakyat dihadirkan sebagai penyelamat dan ditugasi terlalu banyak hal, tetapi akibat negative dari penggelontoran fasilitas menimbulkan kekhawatiran baru, di samping perubahan fundamental reformasi politik di bidang perbankan mengharuskan perubahan. Sementara dampak krisis masih membebani masyarakat dan menyisakan kemunduran kelompok usaha menengah yang mempunyai kedudukan penting dalam menghela ekonomi akar rumput (grass root economy). Masih dalam suasana semacam itu lembaga yang bertugas untuk mengkordinasikan pengembangan UKM dipersempit statusnya menjadi Kementerian Negara Koperasi dan UKM pada akhir tahun 1999. Oleh karena itu dibentuk Badan Pengembangan Sumber Daya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (BPS-KPKM) untuk mengemban tugas operasional Departemen Koperasi dan PKM [Dirjen Koperasi (Bina Usaha) dan Dirjen PKM]. Badan baru ini dilengkapi dengan tiga pilar fungsi yaitu: Pengembangan Usaha (pengembangan bisnis dan pasar, Business Development);  Fasilitasi Pembiayaan dan Investasi (pembiayaan dan investasi termasuk restrukturisasi kredit, Financial and Investment Facilitation), dan Sumber Daya Manusia (pendidikan pelatihan, teknologi dan penelitian, dan penyuluhan dan peran serta masyarakat, Technology and Trainings Supports). Dalam forum kordinasi donor pembangunan Koperasi dan UKM BPS-KPKM dikenal sebagai SMECDA (Small Medium Enterprise and Cooperative Development Agency).

     Dengan kesadaran akan perubahan, maka sejak awal Badan ini didirikan dan dalam waktu tiga tahun akan dievaluasi sesuai dengan arah reformasi yang masih akan berlanjut. Menghadapi tantangan ini maka harus ada scenario untuk mentransformasikan menjadi lembaga partnership antara pemerintah dan pelaku yang lebih ramah pasar. Paradigma pembinaan dan dukungan langsung harus ditransformasikan menjadi industri pemberdayaan yang secara perlahan menjadi bagian dari industri jasa perusahaan yang berdampingan dengan jasa keuangan dan jasa persewaan yang menjadi nyawa dari pengembangan usaha. Inilah paling tidak renungan kami ketika itu dalam menerima tugas transisional tapi harus melahirkan perubahan mendasar. Kesulitan Direktorat Jenderal Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah di Departemen Koperasi ketika itu adalah mengenali obyek binaan dan mencari entry yang berbeda dari Dirjen IK Departemen Perindustrian dan Dirjen Koperasi. Pembina koperasi meskipun dibatasi oleh wilayah dan pengelompokan kegiatan ekonomi tetapi mereka mempunyai identitas kelembagaan universal, yaitu Organisasi dan Badan Hukum Koperasi, tetapi tidak demikian halnya dengan industri kecil, usaha kecil, dagang kecil dan sektor informal.

     Menjawab kebutuhan tantangan kelembagaan dan program pengembangan yang berdampak jangka panjang dan perlu kecepatan pelaksanaan, maka pikiran yang dikembangkan ketika itu bahwa program itu harus memenuhi syarat: (1). melahirkan entry baru yang jelas, (2).mempunyai karakter unity, (3).ada kekuatan market driven, dan (4). melahirkan self governing (rolling) mechanism. Pendekatan yang mempunyai kemampuan memenuhi syarat ini tiada lain adalah pendekatan klaster dengan entri sentra yang sudah hadir di masyarakat. Dan sejak itu pendekatan klaster yang biasa digunakan dalam pendekatan manajemen industri diadopsi ke dalam pengembangan usaha kecil dan menengah, karena pada dasarnya aglomerasi yang biasa dilakukan industri juga pada akhirnya tumbuh menjadi kesatuan dengan usaha pendukungnya, seperti sejarah klaster industri perkapalan di Norwegia lebih seabad yang lalu. Pengalaman ini memang dianjurkan oleh UNCTAD sebagai model tahapan pengembangan, meskipun kawasan itu kini sudah menjadi kawasan pelabuhan untuk rekreasi dan pusat perbankan.

     Secara sepintas pendekatan klaster dalam pengembangan UKM, apapun basis kegiatannya, pivotnya adalah menjadikan total omzet dari hasil pengelompokan yang disertai dukungan ini harus tumbuh menjadi sebuah ekonomi yang kesemuanya dapat hidup dengan kekuatan pasar. Biasanya yang paling mudah adalah melihat kehadiran lembaga keuangan karena dia tidak akan hadir kalau tidak layak. Dalam mengembangkan tiga pilar penguatan diatas maka program pokoknya adalah memasukkankomponen jasa pengembangan usaha (Business Development Services) ke dalam klaster/sentra UKM dan memperkuat Lembaga Keuangan Mikro untuk melayani usaha mikro non formal dan tidak mampu memenuhi persyaratan perbankan dan ditopang oleh pendidikan, pelatihan dan pengenalan telematika-informatika melalui BDS. Ke depan menjadikan mereka mitra Bank adalah keharusan oleh karena itu instrument penjaminan, asuransi dan instrument keuangan lainya,termasuk restrukturisasi dikembangkan dan dikaitkan dengan fungsi BDS.

     BPS-KPKM sendiri umurnya tidak sampai tiga tahun karena pada akhir tahun 2001 dihapuskan, tetapi pendekatan klaster dengan instrument BDS dan MAP-LKM sudah menjadi dokumen UU-PROPENAS (UU 25/2001) sebagai pengganti GBHN maka perjalanan program ini selamat sampai akhir sasaran pengembangan selama 4 tahun 2001-2004, dengan jumlah seribu entri (sentra) untuk dikembangkan menjadi klaster UKM. Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, terutama setelah tahun 2005 nyanyian tentang klaster, BDS dan lainya memang redup dalam pendekatan pengembangan UKM. Tetapi juga belum ada konsep pengganti atau alternative strategi yang ditawarkan Kementerian Koperasi dan UKM yang menyangkut pengembangan UKM. Saksi hidup dari hasil pendekatan BPS-KPKM adalah masih adanya pegiat BDS dan hadirnya Asosiasi BDS, serta digunakanya komunikasi jalur maya SMECDA untuk komunikasi UKM. Evolusi BDS lebih jelas karena selain dikembangkan menjadi KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank), Lembaga Pendamping dalam program pemberdayaan pada  program daerah dan kemudian PNPM, sampai pada pengenalan BDS secara ekplisit dalam pembangunan sektor, CSR Perusahaan Besar dan BUMN. Industri jasa perusahaan dalam perekonomian kita juga tumbuh pesat (lihat Statistik Indonesia). Sementara pendekatan klaster secara eksplisit juga telah digunakan dalam pembinaan usaha kelautan dan perikanan, program pembanguan daerah dan industri sendiri.      

     Jika dilihat dari evolusi jasa pengembangan usaha UKM dalam sejarah pembinaan usaha kecil di Indonesia dimulai dari tugas asistensi oleh Dinas, baik Pertanian maupun Perindustrian, dan kemudian lahir kesadaran akan fungsi Penyuluhan oleh Petugas Pemerintah sebagai transformasi dari Penerangan Pembangunan yang umum (penyadaran manusia/masyarakat). Tetapi khusus untuk industri tugas penyluluhan, bantuan teknis dan kepengusahaan dititipkan kepada industri pengolahan (lihat industri gula, tembakau, serat rami dan lain-lain. Pada masa tumbuh kembangnya industri pupuk,obat-obatan dan pembibitan pertanian masing-masing perusahaan besar menyediakan tenaga penyuluh/pendamping mengikuti penyediaan detailer dalamindustri obat-obatan, yang berarti penyediaan jasa pengembangan usaha oleh industri produsen input. Kekeliruan penyuluhan menjadikan pengerahan dan menghambat pengembangan mengundang LSM tampil dengan konsep Pendampingan yang lebih membuka kepada kemajuan dan alternative usaha yang luas, tetapi tidak kompetitif karena bergantung pada donor atau lembaga pendukung. Inilah alasan utama mengapa BDS tidak diambil sendiri peranya oleh BPS-KPKM tetapi diserahkan kepada pihak ketiga, karena yang ingin dikembangkan adalah industri pengembangan usaha yang tersedia melalui pasar untuk UKM. Pada tahap awal BDS direkrut dari tiga pilar yaitu: (1). Perguruan Tinggi (LPEM/LPM), (2). Konsultan UKM Swasta dan LSM, dan (3). Koperasi sendiri.    

    Pada masa berakhirnya program pengembangan Sentra/Klaster UKM tahun 2004 untukmencapai sasaran 1000 sentra kegiatan UKM, Badan Pusat Statistik BPS diminta melakukan evaluasi dampak pemberian dukungan financial (LKM/MAP) dan dukungan non financial (BDS/Jasa Pengembangan Usaha) dan hasilnya melaporkan bahwa keduanya mendorong volume penjualan (25% mengalami peningkatan dan 33 persen bertahan dalam krisis/tetap), sementara keuntungan juga meningkat dengan kinerja yang hampir sama (BPS, 2004). Jika dilihat rata-rata masa implementasi pendekatan ini dalam praktek masih kurang dari dua tahun, tetapi separuh dari UKM mendapati layanan pasar yang tepat dapat membantu mereka mencari pemecahan pengembangan usaha mereka. Akan lebih menarik lagi seandainya potret 2009 ditampilakn, karena akan menguji setelah pendekatan dimaksud dilepas selama lima tahun apakah telah menumbuhkan industri jasa perusahaan bagi UKM. Karena kinerja makro yang tumbuh pesat sangat boleh kadi karena permintaan jasa perusahaan dari usaha besar yang tumbuh pesat. Ingat jumlah unit usaha besar bertambah pesat, pangsa usaha besar juga menggeser usaha menengah, sehingga pada saat ini sedang terjadi kembali gejala konsentrasi usaha.

 

DINAMIKA INDUSTRI JASA KEUANGAN DAN PENGEMBANGAN USAHA UKM

     Di bidang jasa keuangan pada saat ini lembaga perbankan telah menciptakan berbagai produk perkreditan dan pembiayaan yang tersedia untuk UKM. Kredit mikro sudah menjadi industri keuangan baru yang dibuka untuk persaingan secara luas tanpa proteksi khusus antara perbankan, koperasi dan lembaga keuangan lainya, termasuk Pegadaian dan PNM dan Lembaga Pembiayaan Ekspor. Bahkan program ini diikuti dukungan secara selektif untuk sektor tertentu dengan jaminan dan subsidi Pemerintah melalui APBN. Meskipun patut dicatat pola subsidi/penjaminan ini belum tentu memiliki keberlanjutan dan konsistensi mekanisme yang akan baku berlangsung dalamjangka panjang.  Hal ini ini membawa  kesempatan baru bagi UKM dan tantangan baru bagi bagi industri jasa keuangan dan jasa perusahaan komersial seperti fungsi KKMB tidak lagi dapat dikembangkan secara menarik atas dasar preferensi.

     Dengan berlakunya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka program perkuatan Pemerintah akan semakin menjauh dari belanja social ke arah belanja modal.  Pada saat ini exercise pendirian LPDB (Lembaga Pengelola Dana Bergulir) pada Kementerian Koperasi dan UKM meskipun belum menemukan mekanisme operasional/pelayanan yang baku tetapi telah hadir. Diakui atau tidak hadirnya LPDB adalah hasil akumulasi pengalaman dan konsekuensi program MAP dan kapitalisasi LKM dengan kompensasi subsidi BBM, yang kemudian dicoba dengan program perkuatan dan ujungnya terbentur oleh program pembangunan seharusnya bukan program belanja social. Kita perlu mengawal perkembangan Badan Layanan Umum (BLU) seperti LPDB untuk pengembangan UKM sebagai format baru ini tetap di jalur yang seharusnya agar tetap hadir dan bermanfaat. Secara konseptual BLU seperti LPDB ini dapat dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota) baik untuk dukungan prasarana fisik maupun financial. Tidak mustahil daerah dapat mengembangkan BLU khusus untuk Klaster IKM jika memiliki justifikasi yang kuat dan dapat didukung oleh investasi pemerintah untuk pengembangan infrastruktur bagi IKM/UKM.

     Untuk kemajuan pengembangan UKM memajukan industri jasa perusahaan adalah merupakan kunci, karena industri besar dan masyarakat/perekonomian modern perkotaan/Negara maju mendapatkanya dari pasar yang tumbuh sehat. Dalam pengertian lapangan usaha atau kegiatan ekonomi yang termasuk ke dalam usaha jasa perusahaan adalah: jasa konsultasi piranti keras, jasa konsultasi piranti lunak, pengolahan data, perawatan/reparasi mesin kantor, computer dll, penelitian dan pengembangan, rekayasa teknologi, jasa hukum, jasa akuntansi dan perpajakan, jasa riset pemasaran, jasa konsultasi bisnis dan pemasaran, jasa konsultasi engineering dll, analisis dan testing, jasa periklanan, seleksi tenaga kerja, dan fotocopy dll. Kegiatan ini mendekatkan UKM terhadap dua hal yaitu jasa keuangan dan jasa inovasi sebagai sumber kemajuan dan umumnya mereka ini hanya bias berusaha apabila memiliki legalitas bisnis formal yang baik disertaihubungan dengan perbankanyang kuat. Jadi industri jasa perusahaan adalah kunci kemajuan UKM, terutama membuka akses.

     Pendekatan klaster juga dapat digunakan untuk membangun industri jasa perusahaan yang kuat, seandainya suatu daerah bertanya tentang satu program yang ada sekali dalam lima tahun untuk memajukan UKM dalam jangka panjang, seharusnya dipilih membangun infrastruktur (fisik) untuk membangun klaster industri jasa perusahaan di tempat yang strategis di suatu kota itu. Ini akan merupakan pusat pelayanan pengembangan usaha melalui pasar dan tumbuh dalam satulokasiyang kompak sebagai bagian dari city supporting services.  Jika telah berhasil membangun infrastruktur pasti mereka akan dituntut dituntut mengelola dengan baik sesuai UU 1/2004 dan akan diawasi sesuai UU 15/2004. Dengan demikian advokasi ke arah ini menjadi sangat penting dibanding dengan program perkuatan yang sangat terbatas jumlahnya. Badan Layanan Umum Jasa Layanan Pengembangan Usaha (BLU-JLPU) pada dasawarsa mendatang menjadi entri baru pengembangan klaster dasar pendukung pengembangan klaster UKM di daerah. Fokus ini akan menjadi perjuangan strategis pegiat pengembangan UKM di daerah, sejalan dengan fakta investasi swasta dan masyarakat mencapai porsi terbesar 70-80% dari investasi nasional/daerah.   

   Potret terakhir struktur unit usaha di Indonesia tahun 2008, sesuai dengan ketentuan UU 20/2008 di luar pertanian, usaha mikro mencapai 24 juta lebih dari total 51,43 juta unit usaha yang ada. Usaha lecil jumlahnya kurang dari setengah juta sedang usaha menengah hanya sekitar 40 ribu unit saja. Apa yang tertinggal dari fungsi BDS, sehingga BDS tidak berkembang dan tidak menarik bisnisnya. Jika tanpa perubahan teknologi yang diperlukan perbaikan bagi UKM hanya satu yaitu meningkatkan skala untuk menaikan omset. Perubahan ini membutuhkan investasi, berarti terbuka fasilitasi investasi yang membuka ruang restrukturisasi usaha menuju formalisasi, kemitraan dan penyertaan sebelummenuju pasar modal atau perbankan. Ruang inilah yang seharusnya dibaca oleh usaha jasa pengembangan UKM yaitu investasi melalui fasilitasi investasi dalam bentuk sekurangnya dalam bentuk intangible knowledge investment.

 

PENGALAMAN PERTUMBUHAN KLASTER INDUSTRI DI ASIA

     Industrialisasi di Asia Timur memang menjadi patron Indonesia, karena Jepang sebagai Negara Industri tertua di Asia merupakan Negara industri yang memiliki tradisi industri kecil menengah yang kuat dengan orientasi ekspor serta memiliki tradisi industri kerajinan yang kuat. Model OVOV (One Village One Product) adalah model orisinil Jepang. Jepang mengembangkan industri kecil dengan intervensi MITI yang jelas, kuat dan konsisten.

     Sementara Taiwan, Hongkong dan Korea tumbuh dengan patron yang berbeda-beda satu sama lain. Taiwan mengembangkan UKM dengan melalui dukungan pusat inkubasi yang kuat dan jumlahnya memadai dan klaster IKM/UKM-pun tumbuh dengan baik. Corak perpaduan antara perencanaan dan pasar dijaga baik. Demikian juga pola yang dikembangkan oleh Korea Selatan lebih bertumpu pada pola pengembangan oleh lembaga khusus yang dimiliki pemerintah tetapi mempunyai karakter seperti lembaga bisnis biasa. Thailand pada masa Pemerintahan Thaksin membawa dua kebijakan terkenal dalam pengembangan ekonomi di akar rumput yaitu pertama formalisasi usaha informal dan adopsi OTOP (One Thambun One Product) yang mengikuti pola Jepang tetapi dengan kesatuan ekonomi lebih besar, Thambun yang setara dengan Kecamatan.  

     Perjalanan China memang unik, karena sebagai Negara dengan perencanaan terpusat mempunyai pola industrialisasi yang khas. Secara eksplisit klaster sebagai pendekatan pengembangan industri di China tidakmengemuka, namun yang jelas pada awal program pembangunan ekonomi pendekatan Township Enterprise (TE) sebagai dan Village Enterprise (VE) atau TVE untuk pola perencanaan oleh Negara (TVE) dan Private Enterprise (PE) yang berkembang dariusaha perorangan dan swasta yang kemudian tumbuh menjadi besar (Harvie, 2003). China mengembangkan industri, terutama peralatan rumah tangga dan pertanian sudah berkembang sejak lama, sebagai ilustrasi Indonesia mengenal produk China sejak tahun 1960an.

      Dengan pola TVE industri tumbuh di mana-mana dengan perencanaan yang baik. Perbedaan yang penting dengan catatan pengembanganindustri kecil di tanah air pada masa yang sama adalah kita melalukan pembangunan dengan sentra-sentra produk unggulan tetap dalam wadah industri rumah tangga, kepentingan bersama pengusaha ditampung melalui pengembangan koperasi seperti sentra pengecoran logam di Ceper, Waru, Tegal dll. Sementara model China mengembangkan TE dan VE sebagai perusahaan yang dengan mudah disejajarkan dengan SME, ketika ukuran jumlah tenaga kerja diterapkan yaitu 50-100 tenaga kerjauntuk UK dan 100-500 untuk UM. Jadi pada awalnya konsep VE jelas sejajar dengan UK dan TE sejajar dengan UM. Jika dilihat dari perkembangan ini klaster industri pada awalnya menyatu dengan unit industri di setiap titik atau wilayah, karena bentuk kesatuanya akan tergantung dari jenis industrinya.

     Pertengahan 1980an ekspor produk China tumbuh pesat, sehingga kemudian membuka diri yang ketika itu (awal 1990an) kita mengenal privatisasi di China. Privatisasi ketika itu tiada lain adalah perusahaan daerah termasuk TVE besar boleh mengekspor langsung dan perusahaan-perusahaan maju melalukan kerjasama di berbagai bidang dan masuknya modal asing telah memperkuat ekspor China dan menekan impor (Zhao and Zhao, 2003). Mulai pada ssat itupun kerjasama antar Negara oleh pemerintah selalu dikaitkan dengan ekspor produk mereka seperti peralatan pertanian, industri tekstil dan garment (Pada tahun 1992 kerjasama untuk bidang ini pernah dirintis oleh Menteri Koperasi RI).

     Menurut Kimura (Kimura, 2003), pola industrialisasi China sangat berbeda karena relative berbasis meluas untuk industri pendukung dan keterkaitan dengan investasi asing dibangun dengan mudah. Hal ini dimungkinkan karena seperti dikemukakan di muka PMA bekerja sama dengan PMDN Pusat maupun TVE. Ketika Asia dilanda krisis dan menekan ekspor China ke Asia, permintaan domestic meningkat dan imporpun pertumbuhanya melambat, sehingga masa ini menjadikan ekonomi China terkonsolidasi dan pada masa pemulihan berlalu sejak 2003 ekspor China ke pasar tradisional, Amerika dan Afrika tumbuh pesat. Klaster industri di China mulai menjadi pertimbangan kebijakan pada dasarnya terjadi ketika TVE memperluas industri dan berkembang karena PMA di masing-masing pusat industri. Klaster di China lahir sebagai tuntutan perkembangan industri  yang menuntut kebijakan pengembangan yang dapat mendukung pertumbuhan industri (Kimura, 2003).

PROSPEK PENGEMBANGAN KLASTER

     Klaster sebagai pendekatan terbukti semakin diterima dalam pendekatan pembangunan yang melibatkan pola pengelompokan, baik industri maupun infrastruktur, sehingga hakekat klaster akan semakin digunakan. Dengan otonomi daerah, pembangunan perkotaan akan menempati tempat sentral dalam pembangunan daerah, implikasinya pembangunan tempat usaha adalah komponen penting dari kehidupan ekonomi perkotaan di daerah. Oleh karena itu pendekatan klaster pasti akan menjadi bagian pengembangan model di masing-masing daerah. Persoalanya adalah aglomerasi yang optimalharus menghasilkan sinergi untuk efisiensi dan kemajuan berkelanjutan untuk daya saing, succesfull cluster brought efficiency and sustain progess for better competitive strength.

     Advokasi klaster pada dasarnya dapat dimulai pada berbagai level baik promosi maupun proteksi, dalamkontek promosi kita sudah banyak belajar dari dunia dan pengalamankita sendiri yang pada umumnya terjadi pada pengembangan usaha di sektor industri. Klaster untuk proteksi mungkin jarang dipikirkan dan dianggap tidak berguna karena dinilai mundur, tetapi dalam suasana ekonomi dualistik seperti kebanyakan Negara berkembang dan perkotaan kita untuk pertimbangan mencegah dampak negative ketimpangan patut dipertimbangkan. Bentuk klaster proteksi adalah isu pasar tradisional versus pasar modern, penanganan ekonomi kawasan kumuh dan lain-lain yang memerlukan pendekatan berkelompok, menyatu, agglomerasi yang membesar dan menguat, terpadu, layak, sehat dan aman; Apakah ini bukan prinsip klaster?

     Untuk menggerakkan kembali kesadaran akanpentingnya pengembangan klaster bagi UKM di Indonesia menghadapi meningkatnya intensitas desentralisasi, maka langkah terbaik adalah mendorong setiap Pemerintah Kota atau Kabupaten membangun miniature klaster dalam bentuk infrastruktur Pusat Pelayanan Jasa Perusahaan. Suatu lokasi dengan infrastruktur memadai di mana semua jenis layanan jasa perusahaan berada di situ dengan sedikit sentuhan layanan perebankandan financial lainya, akan menjadipusat pengembangan UKM yang digerakkan pasar.

     Hal yang dikemukakan di atas sangat penting untuk Negara denganmasyarakat yang tingkat kewirausahaan rendah seperti Indonesia, sebagaimana diketahui rasio penduduk terhadap IKM pada tahun 2008 masih sangat tinggi yaitu 71, di mana pada tahun 1996 kita pernah mencapai angka 46, sedangkan benchmark idealnya 20 (Noer Soetrisno, 2009). Jika menggunakan ukuran UMKM-Non Pertanian angka kita juga tidak bagus karena angkanya masih diatas 100 sementara idealnya 6, agar ekonomi bangsa mempunyai absorbsi tinggi terhadap insentif fasilitasi financial dan ekspor. Dengan ukuran lain elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan pembentukanusaha baru sangat elastic diatas 1,5, sementara elastisitas pertumbuhan pembentukan usaha baru terhadap perubahan prospek bisnis dalam indicator pertumbuhan dan harga tidak elastic di bawah satu mendekati setengah (Noer Soetrisno, 2005).

     Dengan berkembangnya pengalaman pembangunan industri kecil dan menengah serta UKM di berbagai Negara yang demikian beragam serta menunjukan klaster kegiatan bisnis adalah kebutuhan, maka klaster akan semakin mendapatkan dasar yang kuat sebagai pendekatan. Lahinya Commercial Center di kota besar sebenarnya secara tidak disadari juga mengilhami pola baru penyatuan layanan bisnis, karena kita dapat belanja informasi pengembangan usaha danjasa-jasa yang diperlukan di tempat itu. Perkembangan baru ini akan semakin memperkuat alas an penggunaan pendekatan klaster dalam pengembangan UMKM di tanah air.

 

PENUTUP

     Pendekatan klaster diaplikasikan dalam pembangunan UKM di Indonesia karena pertimbangan akumulasi asset program pembangunan sebelumnya yang disertai pertimbangan rasional mencari entri baru pembangunan UKM yang baru menjadi interest baru Pemerintah pada decade 1990an. Pendekatan dengan pilar business development, financial support, and technology facilitation, meskipun dijalankan secara tidak lancar telah memberikan dampak bagi kemajuan penjualan dan profit serta pertumbuhan usaha baru dan tetap dapat bertahan dalam tanpa dukungan tambahan. Industri jasa perusahaan yang ditanamkan telah tumbuh dan berkembang. Dalam mendukung desentralisasi advokasi Pembangunan Infrastruktur Klaster Layanan Jasa Perusahaan sebagai kunci memajukan UKM ramah pasar di setiap kota akan mendorong berkembangnya klaster industri kecil dan UKM di daerah. Selamat Berjuang.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Badan Pusat Statistik, Pengkajian Dukungan Finansial Dan Non Finansial Dalam Pengembangan      

                                                      Sentra Bisnis Usaha Kecil dan Menenbgah, Kerjasama Kementerian                 

                                                      Koperasi dan UKM-BPS, BPS, Jakarta, Maret 2004.

  1. Harvie, Charles: Regional SMEs and Competition in the Wake of the Financial and Economic

                                        Crises, dalam New Asian Regionalism Response to Globalisation and

                                        Crises, Palgrave, MacMilan, 2003.

  1. Kimura, Fukunari, Development Strategies for Economies Under Globalization: Southeast Asia as

                                                      New Development, dalam New Asian Regionalism Response to  Globali-

                                                      Sation and Crises, Tran Van Hoa and Charles Harvie (Editor), Palgrave

                                                      MacMilan, 2003.

  1. Noer Soetrisno: Kebijakan Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia, Makalah

                                               Seminar Nasional ISEI, ISEI,  Malang,1996.

  1. ——————-:  Rekonstruksi Pemahaman Koperasi Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat,

                                        INTRANS, Jakarta, 2001.

  1. ——————-: Ekonomi Rakyat Usaha Mikro dan UKM Dalam Perekonomian Indonesia,

                                         Sumbangan Untuk Analisis Struktural, STEKPI, Jakarta, 2005.

  1. ——————-: Strategi Penguatan Klaster UKM Melalui Pendekatan Klaster Bisnis, Lutfansyah

                                          Mediatama, Surabaya, 2002.

  1. ——————-: Farmers Millers And Sugar Production In Indonesia, Disertasi Dokter University of

                                           The Philippines, Diliman, Quezon City, 1984.

  1. ——————-: Catatan Agenda Pengembangan UMKM Ke Depan, Koran Bisnis Indonesia,

                                            Jakarta, Juni, 2009.

  1. ——————-: Indonesia: Crises, Reform, Globalization and SME, dalam Tran Van Hoa and

                                            Charles Harvie, New Asian Regionalism Response to Globalisation and

                                            Crises, Ibid.

  1. Richardson, W : Regional Economics, Penguin Book Series, London, 1971
  2. Siahaan, Bisuk:  Idustrialisasi di Indonesi: Sejak Periode Rehabilitasi Sampai Awal Reformasi, ITB-

                                             Bandung, Agustus, 2000.

  1. United Nation Trade And Development (UNCTAD): Improving the Competitiveness of SMEs in

                                             Developing Countries, The Role of Finance to Enterprise Development,

                                             UNCTAD, Geneve, 2001.

  1. Urata, Shujiro: Policy Recommendation for SME Promotion in the Republic of Indonesia, JICA-

                                              Report. Jakarta, 2000.

 

  1. Zhao, Yanyun and Lei Zhao: The Chinese Transition of a Social Economy and Its Competitiveness

                                              In International Trade, dalam Tran Van Hoa and Charles Harvie, New

                                              Asian Regionalism Response to Globalizationand Crisis, Palgrave, Mac                       

                                              Milan, 2003

Categories: Uncategorized Tags: , , , ,

Pengrajin Batik di Banyuwangi Gulung Tikar

November 16, 2009 Leave a comment

Faktor terpenting usaha menengah pengerajin batik kelas bawah di Banyuwangi adalah modal. Tak sedikit dari mereka gulung tikar karenanya. Namun sebagian kecil, memilih beralih ke ‘aliran’ batik modern untuk bertahan hidup. Batik lukisatau painting sendiri muncul setelah tehnik batik mengalami perkembangan pesat. Proses pembuatan, media, serta tehnik perwarnaannya tak beda dengan batik tulis. Hanya sedikit inovasi yang membedakan keduanya.

Dalam perkembangannya, batik painting memiliki pangsa pasar tersendiri dan banyak diminati warga khususnya wisatawan mancanegara. Batik painting itulah yang ditekuni, Nanang (29) alias Bendol warga Dusun Krajan Desa Seneporejo Kecamatan Silir Agung. Tepatnya Sekitar 55 Km arah selatan pusat Kota Banyuwangi. Sebelumnya, pembatik muda itu pernah menekuni batik tulis Gajah Oling, batik khas Banyuwangi. Namun tidak lagi dilakukan setelah usaha itu nyaris gulung tikar. Usaha batik tulis menurut Bendol sebenarnya sangat menggiurkan. Terlebih untuk pangsa pasar batik asli Banyuwangi, terutama pangsa lokal. Permintaannya cukup tinggi.

Sayang hal itu tak diiringi dengan kemampuan pasar lokal itu sendiri. Alhasil, usaha mereka bisa dikatakan hidup segan mati tak mau. “Dulu batik tulis gajah oling saya banyak diutang orang, karena memang kemampuan pasar lokal begitu. Jadinya modal sempat macet dan jalan di tempat,” kenangnya saat mengantar detiksurabaya.com berkeliling di workshop batik miliknya, berukuran 20 x 5 m, Jumat (2/10/2009) siang Selain itu, tambah Bendol, kendala lainnya para pengerajin batik tulis di Banyuwangi tidak memiliki wadah berkumpul untuk saling bertukar informasi. Yang ada saat ini terkesan kurang adanya pemerataan perhatian dari pemerintah kabupaten. Misalnya, pinjaman modal maupun informasi penting lainnya yang berguna bagi mereka. “Kami (pengerajin batik skala kecil.red) pasarnya hanya lokal saja, kalau mau tembus pangsa regional apalagi nasional sangat susah. Hanya mereka yang bermodal besar yang dapat informasi pameran atau event lainnya,” ungkap Bendol, tanpa bermaksud menyudutkan lembaga maupun kelompok pengrajin batik lainnya.

Dengan kondisi seperti itu, akhirnya batik painting menjadi sebuah pilihan. Selain pangsa pasar berbeda, potensi batik painting di Banyuwangi belum banyak digali pengarajin lainnya. Namun menurut Bendol, menjadi seorang pembatik bukanlah sekedar mencari sesuap nasi. Baginya, pembatik adalah penjaga warisan budaya bangsa.

 

Sumber: DetikSurabaya

Categories: Uncategorized Tags: , ,

Pentingnya Pendampingan UKM

November 12, 2009 Leave a comment

Kunci penting keberhasilan usaha kecil dan menengah (UKM), sebagaimana diakui para pengusaha, adalah masalah pendampingan, bukan semata-mata jaminan dana. Sementara pendampingan di bidang produksi justru dirasakan minim, termasuk dari pemerintah. Pengusaha akhirnya harus mencari strategi sendiri untuk dapat bertahan.

Industri furnitur antik, misalnya, bukan sekadar memproduksi, tetapi juga membutuhkan pendampingan produksi untuk menciptakan produk dengan nilai tambah berlabel ramah lingkungan dan produk yang asal-muasal bahan bakunya dapat dipertanggungjawabkan kelestariannya.

Selain itu, pendampingan juga dibutuhkan di bidang manajemen keuangan. Zaman semakin susah, mekanisme pembayaran yang dilakukan baik oleh broker maupun pembeli asing harus dilakukan hati-hati.

Untuk memutar usaha, skema pembayaran pemesanan produk bisa dilakukan dengan cara membayar uang muka sebesar 30 persen dari total pembelian. Ketika proses produksi dimulai, tahap pembayaran berikutnya dilakukan sebesar 20 persen. Sewaktu produk sudah jadi, konsumen diminta lagi pembayaran 20 persen. Sebelum barang dikirimkan, sisanya dibayar lunas. Jadi tidak ada beban.

UKM Lebih Butuh Pendampingan

Yogyakarta, Kompas – Munculnya peluang alternatif pembiayaan untuk mendorong sektor riil bukanlah jaminan penggerak ekonomi. Pelaku usaha kecil dan menengah lebih membutuhkan pendampingan daripada sekadar didorong untuk memanfaatkan kredit.

Sejumlah pengusaha binaan lembaga pembiayaan PT Sarana Yogya Ventura (SYV) mengungkapkan hal itu di Yogyakarta, Rabu (18/2). Lembaga yang merupakan salah satu perusahaan modal ventura strategis di bawah PT Bahana Artha Ventura (BAV) ini memiliki 244 perusahaan pasangan usaha (PPU) atau kerap disebut UKM.

Chief Executive PT Djawa Furni Lestari Oki Widayanto yang membidangi furnitur antik mengatakan, modal memang penting. Namun, perajin berorientasi ekspor kini lebih membutuhkan pendamping dalam menciptakan produk dan mempertahankan pasar.

”Kunci penting adalah pendamping. Selama ini perbankan hanya menyediakan dana kredit dengan aturan rumit, tetapi melepaskan begitu saja jatuh dan bangunnya pengusaha yang memanfaatkan kredit perbankan,” kata Oki.

Cari strategi sendiri

Menurut Oki, pendampingan di bidang produksi justru dirasakan minim, termasuk oleh pemerintah. Akibatnya, pengusaha harus mencari strategi sendiri untuk bisa bertahan. Misalnya, industri furnitur antik bukan sekadar memproduksi, tetapi juga menciptakan produk dengan nilai tambah berlabel ramah lingkungan dan produk yang asal-muasal bahan bakunya dapat diper- tanggungjawabkan kelestariannya.

Martini Nurhadi, perajin kerajinan tangan, mengatakan, pendampingan dibutuhkan di bidang manajemen keuangan. Zaman semakin susah, mekanis- me pembayaran yang dilakukan baik oleh broker maupun pembeli asing harus dilakukan hati-hati.

Untuk memutar usaha, menurut Martini, skema pembayaran pemesanan produk bisa dilakukan dengan cara membayar uang muka sebesar 30 persen dari total pembelian. Ketika proses produksi dimulai, tahap pembayaran berikutnya dilakukan sebesar 20 persen.

”Sewaktu produk sudah jadi, konsumen diminta lagi pembayaran 20 persen. Sebelum barang dikirimkan, sisanya dibayar lunas. Jadi tidak ada beban,” kata Martini.

Perajin batako Joko Sriyanto mengatakan, pasar domestik kini menjadi tumpuan. Apabila proyek-proyek infrastruktur seperti perumahan dan jalanan segera berjalan, stok produknya tidak akan menumpuk.

Bank Tidak Mencari Untung dari KUR

November 7, 2009 Leave a comment

Sejumlah bank penyalur Kredit Usaha Rakyat mengaku tidak mencari untung dari program KUR.

Perbankan tidak keberatan jika pemerintah menurunkan suku bunga KUR yang saat ini sebesar 16 persen per tahun.

”Penyesuaian tingkat suku bunga KUR memang perlu, tetapi juga harus dimengerti besarnya bunga KUR bagi bank bukan untuk mencari untung sebesar-besarnya,” kata Direktur Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Bank Rakyat Indonesia Sulaiman Arif Arianto, kemarin di Jakarta.

Menurut Sulaiman, suku bunga yang diterima bank lebih untuk menutup biaya operasional. ”Biaya operasional KUR relatif besar karena nilai kreditnya sangat kecil, tetapi debitornya sangat banyak,” katanya.

Tujuan utama bank menyalurkan KUR, kata Sulaiman, tidak sekadar memberikan kredit sebanyak mungkin, tetapi lebih untuk memperluas basis nasabah.

Nasabah KUR merupakan embrio yang suatu saat akan menjadi nasabah kredit komersial. Nasabah KUR yang sebelumnya tidak bankable diharapkan bisa tumbuh dan berkembang menjadi pengusaha potensial.

Sebelumnya, Menteri Negara Koperasi dan UKM Syarifuddin Hasan mengatakan, KUR harus dievaluasi total, salah satunya dengan menurunkan suku bunganya.

Sejak diluncurkan pemerintah beberapa tahun lalu, suku bunga KUR tidak pernah berubah, tetap 16 persen. Padahal, suku bunga acuan BI (BI Rate) sudah turun menjadi 6,5 persen.

Butuh pembinaan

Direktur Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kredit bermasalah (NPL) KUR Bank Mandiri hanya 1 persen. ”Namun, untuk bank yang NPL-nya besar harus dihitung apakah penurunan bunga memungkinkan,” kata Budi.

Secara terpisah, Direktur Utama PT Bahana Artha Ventura (BAV) Hesty Purwanti mengatakan, pembiayaan UMKM sebagai perusahaan pasangan usaha (PPU) BAV bukan sekadar mengucurkan kredit, lalu membiarkan debitor susah payah mengangsur utangnya.

”Pembinaan sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya kredit macet. Pola pendampingan tidak pernah tertulis, tetapi berjalan sesuai kultur masyarakat. Inilah yang tampaknya kurang dilakukan oleh perbankan,” ungkap Hesty.

Hal senada dilakukan Direktur Utama PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Parman Nataatmadja. Menurut dia, yang sedang meninjau usaha mikro di Yogyakarta, pembangunan kapasitas bagi pelaku usaha, khususnya usaha mikro, dilakukan mulai teknik produksi agar memiliki daya jual tinggi, tata kelola keuangan, pemasaran, bahkan cara-cara hidup hemat.

 

sumber: kompas

15 Program Prioritas 100 Hari Pertama KIB II

November 6, 2009 Leave a comment

Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II menetapkan 45 program aksi penting untuk 100 hari pertama mereka bekerja. Sebanyak 15 program diantaranya dijadikan program prioritas untuk segera direalisasikan dalam jangka pendek.

Ketetapan ini diambil dalam sidang paripurna ke-2 KIB II, Kamis (5/10/2009), usai rapat selama 6 jam yang dimulai sejak pukul 10.00 WIB pagi tadi di Kantor Presiden.

Berikut 15 program aksi prioritas 100 hari pertama KIB II dibawah pemerintahan SBY-Boediono.

1. Pemberantasan mafia hukum di semua lembaga negara dan penegakan hukum. Seperti makelar kasus, suap menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, pungutan tidak semestinya dan sebagainya yang rasa keadilan dan kepastian hukum.

2. Revitalisasi industri pertahanan. Perlu ada rencana induk dan arah revitalisasi sehingga bisa penuhi kebutuhan dalam negeri dan kontak sedang berjalan.

3. Penanggulangan terorisme. Peningkatan kapasitas dan restrukturisasi lembaga penanggulangan terorisme untuk lebih libatkan seluruh lapisan masyarakat.

4. Listrik. Memastikan terpenuhinya kebutuhan listrik di seluruh Indonesia dalam lima tahun ke depan.

5. Peningkatan produksi dan ketahanan pangan.Perumusan kembali rencana induk untuk meningkatkan ketahanan pangan yang lebih terintegasi dengan faktor pendukung, irigasi, pupuk dan subsidi khusus bunga bagi petani.

6. Perindustrian. Memastikan revitalisasi industri pabrik pupuk dan gula yang meliputi penggunaan tekologi dan pembiayaannya.

7. Pembenahan keruwetan penggunaan tanah dan tata ruang. Terutama sinkroninasi antara UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Lingkungan Hidup serta tata perijinan dan penggunaan di lapangan.

8. Infrastructure. Prioritasnya pematangan rencana pembangunan ruas jalan-jalan yang penting antar propinsi dan di pulau besar. Termasuk fasilitas pelabuhan, dermaga, bandara dan infrastruktur perhubungan dan perikanan.

9. Pemberdayaan usaha mikro, usaha kecil dan menengah yang dikaitkan dengan KUR. Pemantapan rencana penyaluran KUR senilai Rp 10 trilyun dalam 5 tahun yang libatkan bank, swasta dan lembaga penjaminan.

10. Mobiliasi sumber pembiayaan di luar APBN & APBD untuk membiayai pembangunan. Ini terkait pembangunan infrastructure, listrik, ketahanan pangan yang klop dengan segi pembiayaan dan investasi.

11. Perubahan iklim dan lingkungan hidup. Yaitu intensifkan pemberantasan pembalakan hutan, menjaga hutan lindung dan mencegah kebakaran hutan serta kelestarian terumbu karang.

12. Reformasi Kesehatan. Prioritasnya bukan lagi berobat gratis melainkan sehat gratis bagi warga miskin. Maka fasilitas kesehatan masyarakat harus lebih diberi penguatan kapasitas dan kapabilitas.

13. Reformasi pendidikan. Memastikanya ada keterkaitan antara hasil lembaga pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha selaku pasar tenaga kerja.

14. Peningkatan kesiagaan penanggulangan bencana dengan membentuk satuan khusus dengan segala fasilitas dibutuhkan yang siap setiap saat diterjunkan ke berbagai lokasi bencana.

15. Sinergi antara pusat dan daerah yang bisa mencegah pemborosan.Sinergi meliputi jajaran pemerinta, kegiatan pembangunan ekonomi, kesejahetraaan, hukum dan keamanan.

 

sumber: detik.com

Categories: Uncategorized Tags: , , ,

Menjadikan Rembug Nasional Tidak Sia-sia

November 2, 2009 Leave a comment

Oleh: FAISAL BASRI

Perekonomian Indonesia sedang mengalami defisit kebijakan. Sudah berbulan-bulan sejak pemilihan presiden tak muncul inisiatif baru yang menghadirkan sentimen positif mendasar. Pemerintahan baru belum juga mengumumkan rencana pembangunan komprehensif dan final. Pernyataan-pernyataan Presiden dan para menteri masih sepenggal-sepenggal dan bersifat normatif. Arah baru pembangunan ekonomi untuk lima tahun mendatang masih samar-samar, juga program 100 hari yang dijanjikan. Atau memang tak ada yang baru? Ada kesan seperti itu.

Pemerintahan baru diharapkan menghilangkan kesan bahwa lima tahun ke depan sekadar kelanjutan dari lima tahun silam. Kalau kesan tersebut tak segera sirna, asa untuk menggapai masa depan yang lebih menjanjikan bakal mulai terkikis.

Kita berharap Rembuk Nasional, 29-30 Oktober lalu, bisa menjadi momentum untuk menghadirkan harapan baru. Di forum itu, berbagai kalangan menyampaikan masukan terinci, meliputi: kendala dan harapan, saran tindakan, serta target waktu. Ada yang baru, banyak pula ”lagu” lama disuarakan, tetapi tak kunjung ditangani tuntas.

Pemerintah, lewat Menteri Koordinator Perekonomian, berjanji akan habis-habisan membenahi sektor riil untuk menghadirkan pertumbuhan yang berkualitas, yang menciptakan lapangan kerja lebih banyak dan mengikis kemiskinan. Kuncinya terletak pada langkah-langkah merevitalisasikan sektor pertanian dan industri manufaktur. Persoalan-persoalan yang selama ini dirasakan menjadi perintang utama seperti infrastruktur dan energi akan segera ditangani. Sektor transportasi juga akan segera dibenahi.

Kepedulian terhadap pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga mengemuka. Muncul kesadaran baru bahwa UMKM yang menggelembung pascakrisis bukanlah perkembangan yang sehat. Fenomena ini lebih dipicu kemandekan sektor formal. Jadi, merupakan ekses, bukan by design untuk memperoleh hasil menggembirakan karena struktur yang didominasi sektor informal sangat rapuh dan tak akan menghadirkan peningkatan kesejahteraan yang merata.

Sudah barang tentu tak semua usulan bisa ditindaklanjuti. Sejumlah usulan saling bertolak belakang. Setiap pihak punya kepentingan yang berbeda. Adalah tugas pemerintah untuk merekonsiliasikan usulan-usulan yang berbeda, yang bermuara pada kebijakan-kebijakan konkret yang memberikan net social benefits terbesar bagi perekonomian dan rakyat banyak.

Janji-janji pemerintah sudah ditumpahkan pada forum itu. Para menteri lebih banyak mendengarkan langsung keluh kesah peserta. Tinggal kita tunggu bagaimana tanggapan konkret pemerintah.

Terukur

Tiba saatnya pemerintah untuk mengumumkan rencana aksi dan target pencapaian yang terukur. Kita akan kecewa kalau pemerintah pada akhirnya mengumumkan bahwa target pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen baru tercapai pada tahun 2014 sebagaimana disampaikan Menko Perekonomian pada sidang pleno hari pertama Rembuk Nasional.

Modal dasar yang terhimpun lebih dari cukup, termasuk optimisme sebagaimana tecermin dari ribuan peserta yang menghadiri Rembuk Nasional. Pemerintah pun kerap mengklaim bahwa fondasi perekonomian cukup kokoh. Optimisme masyarakat dan pelaku usaha jangan sampai redup karena pemerintah lebih sering menekan pedal rem. Kecuali kalau memang slogan ”lanjutkan” yang lebih diusung tinggi-tinggi.

Ada preseden ke arah sana. Misalnya, kalau tuntutan revitalisasi industri manufaktur diwujudkan sekadar dengan menggelontorkan triliunan rupiah dana APBN untuk membenahi pabrik-pabrik yang tidak efisien, bukan dengan proyek revitalisasi pabrik, seperti pabrik semen, pabrik gula, pabrik pupuk, ataupun pabrik tekstil. Program dalam bentuk demikian hanya akan menghamburkan uang rakyat tanpa jejak. Itu namanya business as usual atau sebatas ”lanjutkan” sebagai slogan.

Meminjam istilah Ari Kuncoro, akademisi yang menjadi pemicu diskusi di sidang komisi industri dan kasa pada Rembuk Nasional, pengembangan industri tidak melulu sektoral, melainkan ada nuansa aglomerasi, geografis, masyarakat, dan technology spillover. Untuk mewujudkannya, pembenahan kerangka kelembagaan menjadi prioritas. Struktur insentif harus dirombak.

Yang kita butuhkan adalah pembaruan dan perubahan cara pikir. Konsep-konsep yang sudah usang harus diperbarui. Arsitektur Perbankan Indonesia nyata-nyata telah menggiring perbankan kita menuju sosok investment bank, yang bisa meraup laba semakin tinggi tanpa harus meningkatkan penyaluran kredit. Forum Rembuk Nasional menyarankan agar pemerintah melakukan terobosan untuk menumbuhkembangkan mekanisme dan skema pembiayaan yang bisa menjawab tantangan kini dan masa depan.

Sebaik apa pun program ekonomi yang bakal diumumkan pemerintah akan berada di awang-awang tanpa dinaungi payung penguatan suprastruktur, berupa: lingkungan sosial politik yang kondusif serta penguatan kerangka kelembagaan dan struktur pasar. Roadmap Pembangunan Ekonomi 2010-2014 yang disusun oleh Kadin Indonesia juga mencantumkan hal ini.

Dalam konteks ini, respons pemerintah yang keliru dalam menangani kasus penahanan Bibit-Chandra bisa membuyarkan kerja keras pemerintah dan harapan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat luas yang menyeruak bagaikan meteor mencerminkan suara kebenaran. Pengatasnamaan menghormati hukum sebatas prosedur formal, yang belum tentu benar pula, jika mencederai rasa keadilan masyarakat, sepatutnya dihentikan. Legitimasi politik bisa serta-merta melorot tanpa legitimasi moral.

 

Sumber: KOMPAS.COM

Categories: Uncategorized Tags: , ,

Program 100 hari Tim Ekonomi

October 23, 2009 Leave a comment

”Pekerjaan besar belum selesai,” demikian penggalan dari sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seusai dilantik, Selasa (20/10). Sebuah ungkapan bahwa para menteri, khususnya menteri-menteri ekonomi, punya tugas besar menyelesaikan pekerjaan besar yang belum tuntas itu.

Berikut beberapa menteri ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu II, Kamis di Jakarta, memaparkan tekad mereka menyelesaikan tugas besar tadi, khususnya dalam 100 hari mendatang

Menteri Pertanian Suswono

Menteri Pertanian Suswono menyatakan, dalam 2,5 bulan ke depan pihaknya akan memprioritaskan audit lahan pertanian. ”Selama ini luas lahan baku pertanian (untuk komoditas padi) selalu disebutkan 7 juta hektar. Apa itu benar? Padahal, menurut data alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, tiap tahun mencapai 100.000 hektar dan pencetakan sawah baru minim,” ujar lulusan sarjana peternakan IPB itu.

Dengan mengetahui luas lahan baku yang sesungguhnya, akan memudahkan mengambil kebijakan yang tepat. ”Kalau dananya memungkinkan, ini bagian dari langkah strategis yang akan saya lakukan,” ungkap master di bidang manajemen agribisnis IPB ini.

Selain audit lahan, Suswono menjanjikan akan menambah lahan garapan petani. Selama ini rata-rata lahan garapan petani 0,3 hektar. Dengan luas lahan garapan sesempit itu, tidak mungkin petani bisa kaya.

”Tentu harus ada peningkatan status dan luas garapan lahan petani, caranya dengan melakukan reforma agraria. Meski tidak berarti petani harus memiliki lahan tersebut, tetapi setidaknya ada peningkatan lahan garapan. Idealnya lahan garapan petani 2 hektar,” jelas Suswono. Dia akan bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah mendorong peningkatan nilai tambah dari komoditas petani. Selama ini produk pertanian yang dijual atau ekspor dalam bentuk komoditas primer, yang tidak memberikan nilai tambah dan menumbuhkan industri pengolahan.

Indonesia harus memiliki industri pascapanen yang unggul, yang mengolah produk-produk pertanian lokal supaya berdaya saing dan menciptakan nilai tambah. Visi pertanian yang akan dicanangkan Suswono adalah Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan, yang Berbasis Sumber Daya Lokal untuk Meningkatkan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Kesejahteraan Petani.

Menperin Mohamad Suleman (MS) Hidayat

MS Hidayat menargetkan tingkat pertumbuhan industri dalam 5 tahun mencapai 6 persen. ”Hal tersebut bisa dicapai dengan menguatkan pembangunan infrastruktur, ketahanan pangan dan energi, serta komunikasi dan birokrasi,” tegasnya.

Tiga sektor industri unggulan yang bisa dimaksimalkan dalam mewujudkan target tersebut adalah kelompok industri tekstil dan elektronik, logam, dan industri kreatif berbasis budaya.

”Sinergi yang baik antara Departemen Perindustrian, Perdagangan, Pertanian, dan Keuangan akan menjadi pilar utama dalam merealisasikan tingkat pertumbuhan industri yang ditargetkan itu,” ujar Hidayat yang sebelumnya menjabat Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri periode 2008-2013.

Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh

Darwin bertekad, dalam seratus hari ke depan ia akan menginventarisasi persoalan seputar energi dan sumber daya mineral secara umum maupun tantangan yang dihadapi di lingkungan internal departemen yang dipimpinnya.

Beberapa prioritas ke depan adalah bagaimana meningkatkan produksi migas dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu kendala adalah Indonesia masih bergantung pada luar negeri atau impor dalam memenuhi kebutuhan minyak siap guna atau minyak jadi.

Untuk itu, diversifikasi dan konservasi merupakan alternatif terbaik menghadapi kondisi energi saat ini. Dengan memakai energi terbarukan seperti panas bumi, Indonesia mampu memenuhi tuntutan pasokan energi seperti pembangunan listrik 10.000 megawatt.

Selain itu, penggunaan energi alternatif seperti batu bara (meski tidak terbarukan tetapi bersifat nonminyak) akan ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan pada penggunaan minyak bumi tahun 2015.

Dia juga akan melaksanakan reformasi birokrasi. Melalui reformasi birokrasi, ia akan memosisikan diri pada tempat yang sesuai dan bertanggung jawab terhadap jabatan yang diemban.

Mennakertrans Muhaimin Iskandar

Ada tiga prioritas terkait ketenagakerjaan dalam 100 hari kerja pertama. Ketiga prioritas itu adalah komunikasi tripartit yang intensif demi iklim yang kondusif, penciptaan lapangan kerja baru yang memenuhi kenaikan kualitas hidup pekerja, dan optimalisasi pelayanan terhadap tenaga kerja Indonesia.

Muhaimin akan meningkatkan koordinasi, antara lain dengan Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Luar Negeri, serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk mengoptimalkan prioritas kerja tersebut.

TKI, terutama di sektor informal, harus dihormati, dilayani, diberi bantuan, dan perlindungan untuk mendapat hak mereka di negara penempatan. ”Saya akan memantapkan lagi dengan Departemen Luar Negeri untuk negara-negara yang menjadi tujuan penempatan TKI. Dengan ada perbaikan (pelayanan TKI) di dalam negeri akan diikuti peningkatan penghargaan terhadap TKI di luar negeri.”

Prioritas lainnya adalah memacu kompetensi pekerja agar memenuhi kebutuhan pasar kerja. Upaya akan dilakukan dengan mengoptimalkan balai-balai latihan kerja sesuai standar kompetitif di pasar kerja. Pemerintah pusat akan meningkatkan kerja sama dengan gubernur di daerah sentra TKI.

Peningkatan kualitas program transmigrasi juga akan menjadi perhatian Muhaimin, mulai dari persiapan penempatan, pengembangan masyarakat, dan kawasan transmigrasi.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad

Ada tiga program prioritas yang akan dilaksanakan, yakni peningkatan pendapatan nelayan dan fasilitas infrastruktur di daerah pesisir. Selain itu, pengelolaan pulau-pulau, termasuk penyelesaian penamaan pulau.

Menurut Fadel, nelayan yang merupakan obyek utama dari negara maritim harus didorong memiliki pendapatan yang lebih besar. Oleh karena itu, insentif kepada nelayan harus diberikan.

Berkaitan dengan itu, pihaknya akan mengatur mekanisme penjualan ikan dengan harga lebih tinggi serta membuka akses pasar bagi produk nelayan.

”Mekanisme pemasaran hasil tangkapan harus diatur kembali agar nelayan pada lini yang terbawah mendapat harga yang wajar,” ujar Fadel.

Dia akan mulai berkoordinasi dengan Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Pertamina untuk penyediaan infrastruktur bagi nelayan. Di antaranya dengan pembangunan jalan di desa nelayan untuk memudahkan transportasi, serta penambahan BBM.

”Upaya mendorong kesejahteraan nelayan dan membangun departemen ini tidak mungkin dilakukan sendirian,” ujar Fadel.

Menteri Negara Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa

Penyediaan perumahan rakyat masih menghadapi sejumlah kendala. Karena itu, langkah pertama yang dilakukan adalah pemetaan pasar, mencakup pasokan dan permintaan rumah, serta mengefektifkan daya serap pasar. Dia akan melakukan klasifikasi masyarakat yang memperoleh subsidi dan harus memiliki pendapatan tetap.

”Jangan sampai ketika sudah diberikan subsidi atau bantuan, ternyata tertahan di tengah jalan, karena sudah pensiun atau daya beli berkurang. Jadi kontinuitas dari daya beli harus dilihat,” ujarnya.

Suharso menambahkan, dia akan mengkaji mengenai masalah bank tanah (land bank) dan ketersediaan lahan. Perlu ada pencadangan tanah untuk perumahan, dan ini terkait dengan perencanaan kota.

Langkah berikutnya, tahap pembangunan dan upaya menekan biaya pembangunan. Langkah ketiga, memetakan daya beli masyarakat, apakah bisa mencicil selama 5, 10, atau 15 tahun. ”Untuk masyarakat dengan daya beli rendah, perumahan akan dialihkan pada rumah susun sederhana sewa,” ujarnya.

Ia menambahkan, pihaknya juga akan mengefektifkan koordinasi antardepartemen. Selain itu, akan dilakukan evaluasi terhadap harga rumah susun sederhana milik dan rumah sederhana sehat. 

Sumber: kompas.com

Menteri Baru, Tantangan Lama

October 22, 2009 Leave a comment

Hari ini Kabinet Indonesia Bersatu II akan dilantik. Dan UMKM akan memiliki menteri baru, yakni Pak Syarifudin Hasan. Politikus dari Partai Demokrat ini akan menjadi panglima Kementerian Negara Koperasi & UKM selama 5 tahun mendatang. Apa akan ada perubahan signifikan dari menteri baru ini? kita memang harus bersabar menunggu statemen resmi pak menteri usai dilantik. Namun dengan mengamati struktur kabinet yang tidak berubah sama sekali dibanding kabinet sebelumnya, tampaknya kita harus mengerem harapan agar tidak melambung tinggi lalu meledak tanpa makna.

Mengapa demikian?

1. Keterbatasan budget. anggaran di kementerian koperasi jauh dibawah APBD Kabupaten Banyuwangi. itu menunjukkan betapa susahnya aparat di Kementerian Koperasi & UKM untuk bergerak.

2. Disorientasi. mohon maaf, 2 menteri sebelumnya, yang kebetulan berasal dari partai politik, tidak cukup taat pada RPJM yang dibuat. kepentingan jangka pendek dan kepentingan kelompok, telah mengkerdilkan peran Kementerian itu sendiri di mata masyarakat UMKM.

3. Program UMKM tersebar hampir di semua departemen. ini pula yang menjadikan tugas pemerintah dalam memajukan UMKM tidak maksimal. jangankan antar departemen, dalam satu departemen pun, ego antar dirjen/deputi terhadap program masing-masing ternyata sangat kuat dan tidak mudah disinergikan.

4. Gagal Koordinasi. sebenarnya ini adalah salah satu tugas utama kementerian koperasi & UKM, yakni mengorganisir pemberdayaan UMKM yang dilakukan oleh berbagai departemen. namun sayang hal ini tidak dilakukan dengan baik. bahkan, cenderung kementerian koperasi & UKM asyik dengan dirinya sendiri (hanya utak atik budget sendiri yang jumlahnya tidak seberapa tersebut).

5. Terlalu berorientasi ke usaha mikro. boleh dibilang hampir semua program yang diurus kementerian koperasi & UKM ditujukan kepada usaha mikro. padahal justru semestinya fokus pemberdayaan lebih baik ke usaha kecil dan menengah, yang memiliki daya ungkit signifikan terhadap ekonomi nasional. usaha mikro sudah terlalu banyak yang mengurusi, kementerian koperasi & UKM tinggal mengkoordinasikan saja.

Melihat spion/menengok ke belakang, sesekali perlu dilakukan. itulah gunanya belajar dari kesalahan. Semoga pak Menteri Syarifudin Hasan tidak mengulangi kesalahan pendahulunya, dan mampu membuat gebrakan konkret memajukan UMKM melalui program yang cerdas dan jelas. Selamat datang pak Menteri. Dengarkan suara rakyat, dengarkan suara UMKM. Mereka akan menjadi mitra yang baik bagi suksesnya tugas pak Menteri kelak.

Categories: Uncategorized

Selamat Datang Kawan….

October 22, 2009 1 comment

Selamat Datang di webblog Forum Nasional Pendukung UMKM.

Mari bersama-sama kita mendorong peningkatan peran BDS-P (Business Development Services Provider), lembaga layanan pengembangan usaha, KKMB (konsultan keuangan mitra bank), Inkubator, Lembaga Intermediasi, dan lembaga sejenis lainnya sebagai lembaga pendukung pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)

Categories: Uncategorized